Salah satu hal yang tak bisa Genduk lupakan ihwal awal ngawula alias mulai bekerja buat Ndoro Kakung adalah saat melamar kerja pada beliau yang sebagaimana disebut Paman Tyo nama aliasnya adalah Ndoro Bedhes [dengan ‘b’ besar].
Saat itu, Genduk menjawab ‘vacancy’ yang ditawarkan Ndoro Kakung sekeluarga lewat situs online. Permintaannya sangat detail atau kata lainnya begitu terperinci, sehingga seleksi yang dilakukan Ndoro Kakung juga sudah bisa dimulai saat membaca job description nya saja. Ini membuat kandidat [yang merasa] berpotensi saja bisa lolos saringan dan memberanikan diri mengetuk pintu rumah Ndoro Kakung buat melamar.
Salah satu statement Ndoro Kakung dalam lembar persyaratan adalah: postur boleh ginak-ginuk asal tidak keterlaluan, hingga tidak menyulitkan saya sebagai penggede domestik yang harus menyediakan konsumsi lebih dari anggaran yang sudah ada [catatan Genduk: herannya, Genduk belum memaknai hal ini sebagai sikap yang cethil alias kikir dari Ndoro Kakung].
Statement lain yang tak kalah seru adalah: punya kecakapan akademis tertentu. Jadi paham internet dan bisa menyalakan komputer sendiri hingga dapat melakukan transfer teknologi secara mandiri [catatan Genduk: maka dari itu, jangan salahkan kalau sekarang Genduk punya blog sendiri, ya Ndoro].
Permintaan kecakapan yang lain adalah dapatnya berbicara satu atau lebih bahasa asing. Hingga tidak ngisin-ngisini alias memalukan bila keluarga tengah menerima dan menjamu tamu asing.
Tapi paling bikin sekok [baca: shock] adalah pernyataan Ndoro yang menyebut, ‘Bila seluruh persyaratan telah Anda penuhi dan lolos dalam seleksi sehingga diterima membatur di kediaman kami, Anda mesti bersedia kerja full-time, ‘satu untuk semua’ [catatan Genduk: ini mengingatkan Genduk pada jargon sebuah tv channel di Tanah Air].
Itu artinya, segala tugas rumah tangga seperti menyapu, mengepel, memasak, mencuci baju sampai membetulkan genteng bocor, memanggul tabung gas elpiji sampai mendongkrak mobil karena ban kempes mesti bisa dilakoni semua!
Beruntung Genduk dapat memenuhi segala kriteria tadi. Setelah tes praktek yang disaksikan Ndoro Kakung dan Putri yaitu mulai beberes rumah dan merawat kedua buah hatinya, Genduk menuju babak final yaitu tahap wawancara.
“Kamu lahir dan domisili di Ndiwek, Nduk?!” suara Ndoro Kakung terperanjat saat membaca curriculum vitae Genduk yang di-print pakai tinta abal-abal akibat warnet di desa kehabisan tinta dan mesti menunggu lama untuk dapat stock baru. “Berarti bahasa daerah yang kamu kuasai bahasa gaya Ndiwek, dong?”
“Lha iyalah, Ndoro. Masa gaya bahasa Madura, Osing, Bali atau daerah lain yang bukan tempat lahir Genduk,” jawab Genduk kalem.
“Walaaaaaaah!!!” terdengar suara Ndoro Kakung lagi. “Berarti wagu [norak], dong!”
“Ndoro, meski wagu ananging mutu [walau norak yang penting bermutu]!” Genduk meneruskan bicara diplomatis.
Dan akhirnya Genduk pun diterima bekerja hingga detik ini.
Benang merah dari wawancara ‘ajaib’ yang dialami Genduk dulu … kadang seseorang –dalam hal ini Ndoro Kakung— mengalami sekok berat saat mendapati suatu fakta. Nama Ndiwek, yang bagi Genduk adalah ‘my beautiful country’ ternyata dalam sudut pandang orang lain sebatas masuk wacana bulan-bulanan dan bahan becandaan.
Padahal kalau mau dicermati secara geografis, Ndiwek itu adalah nama suatu desa di Jombang. Jawa Timur. Nama dan canda soal tempat ini mencuat ketika komedian Asmuni [almarhum] dari Srimulat mempopulerkannya lewat guyonan di pentas live dan televisi. “Pantes ora ngerti apa-apa, lha wong omahmu nang Ndiwek.”
Sebuah parodi khas Pakde Asmuni buat menggambarkan betapa lawan bicaranya sangat out-of-date karena tak mengikuti putaran zaman akibat rumahnya jauh di pelosok desa.
Nama lain yang tak kalah populer selain Ndiwek adalah ‘Timbuktu’. Nih buktinya tak usah jauh-jauh. Lagi-lagi Ndoro Kakung bisa jadi tersangka eh contoh konkret. Coba baca di paragraf ketujuh postingan soal brokoli nya Ndoro.
Genduk pertama kali membaca guyon soal Timbuktu untuk menggambarkan betapa jauhnya suatu lokasi yang mesti dicapai adalah di komik Donald Bebek milik Den Bagus, putra Ndoro Kakung.
Ternyata, setelah Genduk konfrontir dengan Jeng Sari si ‘Nona Sok Sadar Wisata’ [nama pemberian Ndoro Kakung sendiri!], nama Timbuktu itu tidak asal comot.
Tempat ini ada betulan di Afrika sana. Berada di Tombouctou Region [dari bahasa Prancis ‘timbuktu’], Mali. Letaknya sekitar 15 km dari Sungai Nigeria dan menjadi jalur pedagangan Trans [gurun] Sahara ke Araouane. Kotanya sendiri dibangun oleh suku Tuareg sejak abad ke-10.
Sejak tahun 1988, Timbuktu masuk daftar UNESCO World Heritage Site karena punya reputasi berupa warisan historis Mesjid Djinguereber [dibangun oleh El Saheli pada tahun 1327], Mesjid Sankore [buatan sekitar abad ke-15] dan Mesjid Sidi Yahya [dibangun oleh Mohammed Naddah pada tahun 1441].
Ketiganya ini merupakan bukti zaman keemasan Timbuktu di masa lalu, sekaligus menandai peran pentingnya dalam kontribusi penyebaran agama Islam di Afrika mulai abad ke-14.
Lalu dari mana asal bahan guyonan “asalmu dari Timbuktu” itu berasal?
Rupanya para pedagang Eropa yang ‘kurang kerjaan’. Kondisi geografis Timbuktu yang nun jauh dari benua mereka dan menjadi tempat pertemuan masyarakat Afrika, orang-orang nomaden dan Arab sekaligus pedagang Yahudi menjadikan Timbuktu bak negeri dongeng sekaligus negeri impian mereka dalam berpetualang. Lalu jadilah kata ‘sakti’ itu: from here to Timbuktu.
Sebuah ‘plesetan’ yang keren!
Namun Genduk tak bisa menahan diri untuk tidak geram, manakala mendapati komentar dari sesama Genduk atau orang-orang sekitar yang menyapanya bila ia akan pulang ke Ndiwek. “Nduk, mau pulang ke Jawa, ya?”
Elho, bagaimana sih? Yang mengajak bicara itu bukannya sedang berdiri di atas tanah Jakarta. Dan Jakarta terletak di Pulau Jawa, ‘kan? Memangnya Jakarta itu nama pulau atau berada di luar Jawa? Hello?!!!
hidup ndhiwek! hidup timbuktu! kekekek ….
hidup genduk! jadi, walopun ndiwek jangan mao kalah sama ‘homo jakartensis’ itu Nduk. tiap hari betapa kita selalu belajar hal-hal baru. bravo!
bener..apa kata genduk. orang jakarta nyebut jawa tenga dll sebagai jawa, padahal jawa itu adalah sebuah pulau (kabeh wes reti). tp sok jakarte jd ngakunya jakarte bukan jawe.
!hidup ndiwek..
*buka peta dolo..nyari daerah ndiwek.
4 ndoro kakung …. rasain yaaaa, nanti disetip orang-orang timbuktu 🙂
4 jeng annisha …. terima kasih for dropping by 🙂 iya, ‘serbuan’ jakartans memang terasa banget manakala ada pertanyaan “pulang ke jawa ya, nduk?” hmmm .. kalau nanya jateng, jatim, bolehlah .. tapi kalau disingkat ‘jawa’ kesannya malas sekali dan buta geografi. kasihan banget ya?
4 kiyat yang nggak cute … bener mas! seperti genduk bilang ke jeng annisha di atas: kalaupun malas menyebut jawa lengkap-lengkap barat, tengah, timur ya mending sebut nama kotanya saja. gitu aja kok repot. daripada changed into “jawa”. please gitu deh, ah 🙂
batur sing moderen tenan ki, bahasane ABG sekali 😀
4 mas andri …. salam kenal dari genduk margenduk surenduk 🙂 ya iyalah, sanajan genduk utawa batur ‘kan harus melek perkembangan zaman gitu dong, ah!
Halaaahhhh…….Genduk2…….
Opo tenan ki Genduk?????
haiyahhh…. yo pasti tenan to mas p3m4. wong ini kisah hidup Genduk jee…